METODOLOGI
PENELITIAN
MAKALAH
TENTANG ILMU PENELITAIAN DAN KEBENARAN
Nama : Susilo
NIM :
STI 201401002
2016
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
kebenaran obyektifitas sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama
menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya
menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?[4]
Jika manusia
mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.[5]
A. Pengertian Kebenaran objektifitas dalam
ilmu pengetahuan
Dalam ilmu
pengetahuan kebenaran adalah sesuatu yang terus dicari. Pada zaman dahulu
manusia mengabaikan mitos-mitos, dongeng-dongeng karena menginginkan kebenaran
sejati. Ini menyebabkan ilmu pengetahuan kadang berkonflik dengan agama dan
keuasaan, kadang bahkan dengan ilmu yang ada sebelumnya. Ini menyebabkan
pertengkaran tidak hanya dalam pihak teori dan pemikiran, namun juga pribadi
dan lain sebagainya.
Karena mencari
kebenaran yang sejati ini. Ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti mencari
kebenaran. Penelitiannya tidak pernah usai untuk menemukan kebenaran yang
sebenar-benarnya yang tidak diragukan lagi. Mungkin awal dari pemikiran ini ada
pada Rene Descartes. Descartes mencoba mencari kebenaran yang tidak diragukan
lagi, dengan cara meragukan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Dengan
menghancurkan basis sebelumnya mengetahui kebenaran.[6]
Secara bahasa
objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya
kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan
dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau
tindakan. Dalam konteks keilmuan kebenaran obyektifitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika
melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai
dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut
objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan
karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu
benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran
historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu
berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan
teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang kebenaran obyektifitas di masa lalu juga objektif di masa sekarang
dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan,
benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan
sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu
ada atau apa itu ontologi.[7]
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1. Teori
Corespondency.
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori
korispodensi (corespondence theory of truth) ® menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan
fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan
demikian ada lima unsur yang perlu yaitu [8]:
1. Pernyataan
(statement)
2. Persesuaian
(agreemant)
3. Situasi
(situation)
4. Kenyataan
(realitas)
5. Putusan
(judgements)
kebenaran
obyektifitas adalah fidelity to
objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh
aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut
oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad Skolatik, serta oleh Berrand Russel pada
abad moderen. Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori
korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam
masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas
pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang
diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi
tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.[9]
Artinya anak
harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu.
Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam
kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak
sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai)
bila sesuai maka itu benar.
2. Teori
Consistency
Teori ini
merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik
bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain
dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori
consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan
subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek
(ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek
lain.[10]
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu
sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di
dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan
dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori
konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori
korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran.
Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran
tadi.
Teori
koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran obyektifitas adalah turth is a sistematis coherence dan
trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C Logika matematik yang
deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa
kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini
digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.[11]
Teori ini
sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan
George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi)
benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang
benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal
dengan sendirinya.
3. Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode
project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar
hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu
itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan
tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya
manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu
melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia
pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini
salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah
teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang
benar (kebenaran).[12]
Teori
pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori
atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi
kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan
kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan
(satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/
tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : (1). Sesuai dengan keinginan dan tujuan,
( 2). Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, (3). Ikut membantu dan
mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Teori ini
merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar
terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey
konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan
ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti
obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui
kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala
sesuai melalui praktek di dalam program solving.[13]
4. Kebenaran
Religius
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
kebenaran obyektifitas tak cukup hanya
diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective,
universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara
antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai
kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi
ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebanaran ini :
C.
Konsep kebenaran Objektivitas Dalam Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa
objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya
kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan
dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau
tindakan. Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya
jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai
dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut
objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan
karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu
benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran
historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu
berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan
teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga
objektif di masa sekarang dan yang akan datang.[14]
Oleh karena
itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu
betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini
ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.Karena
objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi
menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai
objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu
yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Termasuk
dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu
itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian
perbandingan antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam
beberapa bahasan. Pertama mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri,
kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah, dan ketiga, masalah kebenaran
obyektifitas dan nilai dalam ilmu-ilmu
sosial.
Selain itu,
secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal
ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang
ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia
bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu
kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi
menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia
berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita bangsawan ataupun
wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya
akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan manusia itu
sendiri.[15]
Pengamatan
yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia
pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain
adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat
diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang
ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan,
karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada
di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada
secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan
hakikat fakta yang merealita.[16]
Berbeda dengan
Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal lain
yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka
hal tersebut tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki
peran yang sangat menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam
dari Chicago AS menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh
peradaban Barat hanya sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan
kata lain segala hal yang tidak observeable dianggap nisbi dan karenanya
manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada jauh diluar jangkauan indera
disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang selanjutnya
dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam menentukan
kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.
Afirmasi
terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika
ditinjau dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang
sudah selayaknya Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi
yang kini mewabah dan menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat
namun tidak bagi Islam. Sejarah Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni
gereja pada abad pertengahan menjadi satu alasan kuat akan keniscayaan
sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Dalam fislafat ilmu, Auguste Comte
(1789 – 1857) memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling primitif
dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis
berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti
sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam
penjelasan berikutnya menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia
berpikir positivistis dengan menolak yang absolut dan menerima yang relatif.
[17]
Sekularisasi
tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis
menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi
maupun praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan
tentang adanya kewajiban yang berbeda antaa keduanya. Sekularisasi ternyata
masih dianggap kurang dan pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang
sangat mengkhawatirkan yakni Liberalisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk
moto Revolusi Prancis 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte,
egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern.
Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip liberalisme yang paling
mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun namanya –a
adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni
otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar
dirinya. [18]
Sekularisme
dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran
obyektifitas yang benar (objektif) itu
adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep tersebut. Dan oleh karena itu,
agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan kehidupan manusia. Pada
akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif dalam keilmuan
berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (mengindentifikasi) sebuah
objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak
tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.[19]
Keobjektifan, pada dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat
diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan
merupakan hasil dari asumsi(kira-kira), prasangka, ataupun nilai-nilai yang
dianut oleh subjek tertentu.
Hal ini
dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas
Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas
sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya
persangkut-paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk
pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sain dan filsafat
yang diturunkan darinya. Pengakuan kebenaran yang terbatas pada jangkauan
indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah dapat dikatakan
absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan percobaan,
pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran
objektif (bebas nilai) harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif,
analitis, dan verifikatif.
Namun berbeda
dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara
pandang (worldview) Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak
sebatas pada dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga
meliputi alam akhirat yang bersifat hakiki. Hakiki disini berasal dari kata
haqq yang maknanya mencakup dua pengertian sekaligus yakni tentang realitas dan
kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang Barat yang partikular
sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta sebagai
pendukungnya. Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau
kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan,
keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan (moral). Ia merupakan
suatu keadaan, kualitas, atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan,
ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan
keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib, hak yang mesti diberikan. Ia
merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya. [20]
Selain kata
haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran,
yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun,
sidhq hanya menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau
kata-kata yang diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada
pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta
hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian
yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang,
tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan
kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan aktualisasi.
Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran
yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari
nama-nama Tuhan yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan
realitas, dan bukan konsep, eksistensi. [21] Dalam salah satu pandangan yang
mencoba memahami secara partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai
sesuatu yang sifatnya murni konseptual, sedangkan esensi adalah yang real;
esensi adalah realitas yang terwujud di luar pikiran. Padahal selain konsep
eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan melekatnya
eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat
dari realitas eksistensi ini.Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan
sebagai konsep, dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia
terus-menerus terlibat dalam suatu gerakan ekspresi-diri ontologis yang
dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terpendamnya yang tak
terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti hingga yang lebih pasti,
sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga
eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang
banyak dan beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah,
tidak lain merupakan modus dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu. Dari
perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari kenyataan yang ada dalam konsep
saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real. Sesungguhnya, esensi sejati
sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke dalam suatu bentuk
peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas dan
Kebenaran (al-haqq) yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang
bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut. [22]
Download versi PDF dibawah